Menyikapi Tenaga Kerja Asing Investasi dan
bantuan asing, baik yang bentuknya hibah maupun pinjaman lunak ke Indonesia,
pasti akan menyertakan tenaga asing mulai dari perencanaan hingga
pelaksanaannya.
Hal ini dilakukan tidak hanya dalam kasus investasi dan bantuan asing dari China, tetapi juga dari Amerika Serikat, Korea Selatan hingga Jepang. Modus itu juga mencakup semua sektor dari industri manufaktur hingga sektor dengan teknologi tinggi seperti pembangkit listrik, bahkan bantuan kepada lembaga-lembaga swadaya masyarakat. Ada sejumlah alasan yang melatarbelakanginya.
Namun yang paling utama adalah alasan untuk menjaga mutu atau kualitas investasi yang ditanamkan. Oleh sebab itu, umumnya tenaga kerja asing menduduki posisi-posisi tinggi yang belum dapat dilakukan tenaga kerja Indonesia mulai dari level manajer hingga direktur atau komisaris. Namun tenaga kerja asing (TKA) yang berasal dari China memang mendapat banyak perhatian di dunia.
TKA khususnya yang berasal dari China juga telah menjadi diskusi hangat dalam minggu-minggu terakhir ini. Topik itu juga menjadi salah satu tuntutan aksi unjuk rasa buruh hari Selasa kemarin walaupun tidak dinyatakan secara eksplisit. Kita perlu berhati-hati juga dalam menanggapi fenomena TKA yang berasal dari China karena kita juga adalah negara pengirim TKA ke beberapa negara.
Saya menilai perspektif mereka yang menolak dan mendukung kebijakan TKA di Indonesia hanya dari sisi nasionalisme semata tidaklah produktif dan tidak sesuai dengan kenyataan dinamika ekonomi pasar dunia saat ini. Kita perlu meletakkan diskusi tentang keberadaan TKA dalam konteks apakah keberadaan mereka akan memperbaiki sistem hubungan industrial di Indonesia atau justru merugikan?
Apakah keberadaan TKA itu mendukung pertumbuhan ekonomi atau justru merugikan? Seandainya pun mereka mendorong pertumbuhan ekonomi, apakah memiliki dampak signifikan terhadap penurunan tingkat pengangguran di Indonesia? Pertanyaan tersebut terkait dengan fenomena bahwa dengan semakin terintegrasinya pasar dunia, migrasi tenaga kerja menjadi sesuatu yang tak bisa dihindari.
ILO mencatat ada setidaknya 232 juta pekerja migran di seluruh dunia dan 90% dari jumlah itu mengikutsertakan keluarga mereka. Ada negara-negara yang diuntungkan dan juga merugi dengan kehadiran TKA. Negaranegara yang mendapat keuntungan dari TKA misalnya adalah negara-negara maju di Eropa seperti Jerman, Inggris atau Prancis.
TKA di negara-negara tersebut mengisi kekosongan angkatan kerja akibat penduduk yang makin menua, tetapi tingkat kelahiran anak sangat rendah. Hal itu juga terjadi di Asia, khususnya Singapura, Korea Selatan, dan Jepang. Singapura bahkan dapat dikatakan 40% dari penduduknya adalah TKA. Tetangga kita Malaysia juga salah satu negara yang mendapat keuntungan dengan ratusan ribu TKA asal Indonesia yang bekerja di sektor-sektor infrastruktur, sektor rumah tangga hingga perkebunan kelapa sawit.
Pekerjaan-pekerjaan tersebut tidak menarik bagi warga Malaysia karena tingkat pendapatannya yang rendah. Di samping negara-negara yang diuntungkan dengan kehadiran TKA, ada pula negaranegara yang mengalami kerugian dan salah satu yang ramai dibicarakan adalah negara-negara di Benua Afrika. Mereka secara spesifik mengaitkan kerugian tersebut dengan investasi dan TKA asal China.
Setelah banyak negara donor Eropa dan Amerika yang menolak memberikan bantuan ke Afrika karena pemerintahan mereka yang tidak demokratis, otoritarian, dan penuh korupsi, Afrika adalah salah satu benua yang menjadi sasaran investasi dari China. Itulah sebabnya negara- negara Afrika kemudian juga menjadi salah satu tujuan migrasi tenaga kerja dari daratan China.
Hal ini dilakukan tidak hanya dalam kasus investasi dan bantuan asing dari China, tetapi juga dari Amerika Serikat, Korea Selatan hingga Jepang. Modus itu juga mencakup semua sektor dari industri manufaktur hingga sektor dengan teknologi tinggi seperti pembangkit listrik, bahkan bantuan kepada lembaga-lembaga swadaya masyarakat. Ada sejumlah alasan yang melatarbelakanginya.
Namun yang paling utama adalah alasan untuk menjaga mutu atau kualitas investasi yang ditanamkan. Oleh sebab itu, umumnya tenaga kerja asing menduduki posisi-posisi tinggi yang belum dapat dilakukan tenaga kerja Indonesia mulai dari level manajer hingga direktur atau komisaris. Namun tenaga kerja asing (TKA) yang berasal dari China memang mendapat banyak perhatian di dunia.
TKA khususnya yang berasal dari China juga telah menjadi diskusi hangat dalam minggu-minggu terakhir ini. Topik itu juga menjadi salah satu tuntutan aksi unjuk rasa buruh hari Selasa kemarin walaupun tidak dinyatakan secara eksplisit. Kita perlu berhati-hati juga dalam menanggapi fenomena TKA yang berasal dari China karena kita juga adalah negara pengirim TKA ke beberapa negara.
Saya menilai perspektif mereka yang menolak dan mendukung kebijakan TKA di Indonesia hanya dari sisi nasionalisme semata tidaklah produktif dan tidak sesuai dengan kenyataan dinamika ekonomi pasar dunia saat ini. Kita perlu meletakkan diskusi tentang keberadaan TKA dalam konteks apakah keberadaan mereka akan memperbaiki sistem hubungan industrial di Indonesia atau justru merugikan?
Apakah keberadaan TKA itu mendukung pertumbuhan ekonomi atau justru merugikan? Seandainya pun mereka mendorong pertumbuhan ekonomi, apakah memiliki dampak signifikan terhadap penurunan tingkat pengangguran di Indonesia? Pertanyaan tersebut terkait dengan fenomena bahwa dengan semakin terintegrasinya pasar dunia, migrasi tenaga kerja menjadi sesuatu yang tak bisa dihindari.
ILO mencatat ada setidaknya 232 juta pekerja migran di seluruh dunia dan 90% dari jumlah itu mengikutsertakan keluarga mereka. Ada negara-negara yang diuntungkan dan juga merugi dengan kehadiran TKA. Negaranegara yang mendapat keuntungan dari TKA misalnya adalah negara-negara maju di Eropa seperti Jerman, Inggris atau Prancis.
TKA di negara-negara tersebut mengisi kekosongan angkatan kerja akibat penduduk yang makin menua, tetapi tingkat kelahiran anak sangat rendah. Hal itu juga terjadi di Asia, khususnya Singapura, Korea Selatan, dan Jepang. Singapura bahkan dapat dikatakan 40% dari penduduknya adalah TKA. Tetangga kita Malaysia juga salah satu negara yang mendapat keuntungan dengan ratusan ribu TKA asal Indonesia yang bekerja di sektor-sektor infrastruktur, sektor rumah tangga hingga perkebunan kelapa sawit.
Pekerjaan-pekerjaan tersebut tidak menarik bagi warga Malaysia karena tingkat pendapatannya yang rendah. Di samping negara-negara yang diuntungkan dengan kehadiran TKA, ada pula negaranegara yang mengalami kerugian dan salah satu yang ramai dibicarakan adalah negara-negara di Benua Afrika. Mereka secara spesifik mengaitkan kerugian tersebut dengan investasi dan TKA asal China.
Setelah banyak negara donor Eropa dan Amerika yang menolak memberikan bantuan ke Afrika karena pemerintahan mereka yang tidak demokratis, otoritarian, dan penuh korupsi, Afrika adalah salah satu benua yang menjadi sasaran investasi dari China. Itulah sebabnya negara- negara Afrika kemudian juga menjadi salah satu tujuan migrasi tenaga kerja dari daratan China.